Kota Tidore Kepulauan

SEJARAH Tidore yang dahulu berbentuk kesultanan memang tak lepas dari letaknya di pesisir Laut Maluku dan kekayaan hasil bumi rempah-rempah. Posisi itu pernah menjadikannya salah satu sentra perdagangan di Indonesia Timur. Status sebagai kota bandar rempah-rempah dimiliki Tidore bersama dengan tiga kerajaan lain, yakni Ternate, Bacan, dan Jailolo. Keempat kerajaan yang dipimpin seorang sultan itu adalah daya tarik bagi datangnya pedagang rempah-rempah dunia dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, dan Inggris, maupun Arab serta wilayah Asia lainnya. Kejayaan keempat kesultanan itu sebagai kota bandar, sekaligus "negeri" bumbu masak, masih tetap dikenang sampai sekarang.

Kota Tidore Kepulauan adalah wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Tengah sebagai kabupaten induk. Pesona Tidore sebagai produsen cengkeh dan pala masih menancap hingga kini meski tidak sekuat dahulu. Terutama cengkeh yang harganya di pasaran sangat fluktuatif. Walau tidak mengandalkan hasil bumi sebagai potensi yang menjanjikan, tetap menjadikannya produk unggulan. Cengkeh dan pala adalah unggulan di tiga kecamatan di Pulau Tidore, sedangkan dua kecamatan lain, yaitu Oba Utara dan Oba di Pulau Halmahera, menghasilkan kopra dan cokelat sebagai komoditas utama.

Jika dua pulau itu berbeda karakteristik dalam segi komoditas unggulan, demikian juga dengan mata pencaharian penduduk. Di Pulau Tidore, mayoritas penduduk mencari nafkah dari bertani, khususnya tanaman pangan, sementara di Pulau Halmahera berkebun. Keempat komoditas unggulan kedua daerah tersebut beserta hasil bumi lainnya dipasarkan keluar Tidore melalui pelabuhan di Kota Ternate, menuju daerah-daerah di Pulau Jawa dan sebagian ke Manado. Selama ini Tidore memang belum memiliki pelabuhan dengan dermaga yang mampu disinggahi kapal dagang besar atau kapal perintis.

Sebagai wilayah berstatus kota, kelengkapan infrastruktur menjadi salah satu yang dituju. Karena dengan itu akan mempengaruhi pengembangan sektor tersier, sesuai fungsi kota yang lebih banyak berbicara pada jasa dan pelayanan. Namun, saat ini Kota Tidore Kepulauan masih pada tahap awal sehingga keterbatasan di sana-sini adalah cirinya. Transportasi, misalnya, hanya mengandalkan angkutan dalam kota dengan kendaraan sejenis minibus. Untuk menuju ke kecamatan atau daerah lain di Pulau Halmahera, atau ke Pulau Ternate, penduduk menggunakan kapal motor cepat (speedboat) yang kapasitasnya sekitar 10 orang. Angkutan ini lebih disukai, selain karena faktor jadwal yang lebih banyak, juga kecepatan waktu dan biaya. Jika kapal feri berlayar dua kali sehari, speedboat lebih luwes, tergantung penumpang. Waktu yang ditempuh kapal cepat ini pun sekitar lima menit dari pelabuhan, dibandingkan dengan kapal feri yang makan waktu 25 menit. Dari segi biaya, ongkos yang harus dikeluarkan tidak jauh beda antara speedboat yang Rp 3.500 per orang dan kapal feri Rp 3.000 per orang. Alhasil, kapal feri hanya dimanfaatkan untuk angkutan barang atau kendaraan karena angkutan penumpang lebih memilih kapal cepat untuk bepergian.

Jika sektor transportasi belum begitu menjanjikan, demikian juga perdagangan. Untuk peluang yang satu ini Tidore kalah dari saudara dekatnya, Kota Ternate, yang menjadi otonom sejak tahun 1999. Untuk membeli kebutuhan pokok atau sekadar berwisata belanja, penduduk lebih suka menyeberang ke Ternate. Di kota tetangga itu memang dapat dijumpai banyak pertokoan besar dan modern, satu hal yang belum ditemukan di Tidore.

Di daerah bekas Kesultanan Tidore ini, perdagangan dilayani pasar-pasar tradisional dan pusat pertokoan sekelas rumah toko (ruko) dengan yang paling ramai di Pasar Inpres Sari Malaha di ibu kota Tidore. Karena Ternate berjarak cukup dekat dengan Tidore, dan lebih dahulu membangun wilayahnya, Tidore kurang punya nama sebagai pusat perdagangan di antara wilayah-wilayah lain di Maluku Utara.

Untuk menjadi daerah transit pun cukup sulit karena jalur yang harus ditempuh penduduk dari luar Kota Tidore ke Ternate tidak harus melalui Tidore karena tersedia kapal yang langsung ke ibu kota provinsi itu. Fasilitas dan sarana-prasarana yang lebih lengkap di Ternate menjadikan Tidore punya banyak pekerjaan rumah, antara lain membangun infrastruktur yang lebih banyak dan representatif, demi mengimbangi kota tetangganya yang sudah lebih maju.

Sadar akan posisi yang kurang menguntungkan, Pemerintah Kota Tidore Kepulauan memutuskan menjadikan wilayahnya sebagai daerah tujuan wisata di Maluku Utara. Selain memanfaatkan sisa kejayaan Kerajaan Tidore di masa lalu sebagai obyek wisata sejarah dan budaya yang tersimpan di Museum Sonyire Malige, akan difokuskan juga pembangunan tempat-tempat wisata yang selama ini masih berupa potensi.

Misalnya, wisata petualangan mendaki gunung berapi Kiematubo (1.730 meter). Gunung yang belum banyak dirambah orang ini menawarkan petualangan pendakian mengasyikkan bagi para avonturir. Ada juga Desa Gurubunga yang alamnya sangat indah, tenang, dan asri, serta Desa Topo untuk agrowisata. Saat ini obyek wisata terkenal di Tidore, selain sisa Kesultanan Tidore, adalah reruntuhan benteng Spanyol yang menyisakan jejak bangsa Spanyol masa lalu. (Sumber: Kompas. Link

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Siap Ramaikan Pilkada Halsel, Revli akan perjuangkan Hak-hak Ulayat dan Kesejahteraan Masyarakat.

Revli diumumkan sebagai Caleg DPR RI PKS dapil Maluku Utara di sela-sela Rakorwil PKS Malut

Revli akan Usulkan Anggota DPD RI dapil Maluku Utara adalah Perwakilan 4 Kesultanan Moloku Kie Raha, Jika Terpilih